Dalam Dupliknya, PH: JPU Harus Lebih Memahami UU Perbankan
Sidang Terdakwa Erlina Pembacaan Duplik |
Dalam Dupliknya, Manuel P Tampubolon menyampaikan, keberhasilan Jaksa Penuntut Umum bukan diukur dari keberhasilannya memenjarakan terdakwa, karena betapa berdosanya kita jika memenjarakan orang yang tidak bersalah.
Setelah membaca, serta mempelajari Replik JPU, ia membenarkan pendapat JPU, terhadap kelebihan masa penahanan terdakwa selama 31 hari adalah merupakan kewenangan dari Majelis Hakim PN Batam. Karena itu permintaan Majelis untuk memasukkan permasalahan penahanan terdakwa dalam pledoi.
"Terhadap permasalahan kelebihan masa penahanan terdakwa, saat ini ditahan di Lapas Perempuan Kelas II B, Kota Batam dengan status tahanan baru, terhitung mulai Hari Kamis Tanggal 15 November 2018. Hal ini sesuai fakta, bahwa pada Hari Rabu Tanggal 14 November 2018 sekira jam 18:30 WIB, terdakwa telah dikeluarkan Kalapas dari Rumah Tahanan Negara Kota Batam dengan status bebas demi hukum. Namun Ketua PN Batam memerintahkan, menjebloskan terdakwa ke Lapas Perempuan, sehingga terdakwa menjadi tahanan baru," ujar Manuel.
Selain itu, sejak terdakwa ditetapkan jadi tahanan baru di Lapas, dan ditempatkan di Karantina, terdakwa selama 7 hari tidak bisa dibesuk oleh keluarga. Hal ini jelas membuktikan, bahwa surat pengantar perpanjangan penahanan terdakwa yang dibuat dan ditandatangani oleh Panitera Muda Perdata Pengadilan Tinggi Pekanbaru, I.A.N. Ratnayani, SH.,MH., bukan dasar hukum untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa.
"Panitera Muda Perdata Pengadilan Tinggi Pekanbaru juga menyatakan dalam surat pengantarnya, penetapan yang diperbaiki tertanggal 12 Oktober 2018 dan tertanggal 13 November 2018 kami tarik kembali dan Tidak Berlaku Iagi". Kenapa tidak sekalian saja Panitera Muda Perdata PT Pekanbaru menarik serta menyatakan tidak berlaku lagi surat penetapan penahanan terdakwa oleh ketua PN Batam 31 hari dan penetapan wakil PN Batam. Karena telah mengakibatkan tumpang tindihnya masa Penahanan terdakwa," baca Manuel P Tampubolon dalam Dupliknya.
Manuel P Tampubolon dalam hal ini, telah, tetap berpegang kepada Keputusan Kalapas perempuan klas II B, Kota Batam, sesuai surat yang ditandatangani Kalapas pada Hari Rabu Tanggal 14 November 2018, yaitu surat pelepasan tahanan atas nama terdakwa Erlina Bebas Demi Hukum.
Selain itu, Manuel P Tampubolon menjelaskan kepada JPU, bahwa berdasarkan Surat Panggilan Nomor : Sp.Gil/671/Xl/2016/Reskrim, tertanggal 30 November 2016, disebutkan bahwa
terdakwa telah dipanggil untuk datang ke Polresta Barelang Batam sebagai tersangka penggelapan dalam jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 lo 372 KUHPidana. Jadi sangat jelas penyidik hanya mencantumkan Pasal 37410 372 KUHPidana. Kemudian, ahli yang dihadirkan juga dalam Kapasitas ahli tindak pidana penggelapan dalam jabatan.
"Jadi, apabila penyidik dan Jaksa peneliti berambisi untuk mengembangkan perkara terdakwa menjadi tindak pidana khusus, maka sudah seharusnya penyidik dan Jaksa menyuruh Bambang Herianto (Pelapor) yang telah melarikan diri, untuk membuat laporan polisi tindak pidana khusus perbankan, bukan dengan cara menumpang dalam Laporan Polisi Tindak Pidana Umum," terang Manuel.
Jaksa yang memiliki pengetahuan, dan pemahaman hukum terhadap ketentuan perundang-undangan perbankan. Namun betapa fatalnya JPU dalam repliknya menyebutkan, bahwa kompetensi absolut yang dimiliki akuntan publik dan kantor akuntan publik yang terdaftar di Bank Indonesia tidak ada kaitannya dengan perkara terdakwa. Padahal, yang didakwakan Pasal 49 avat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
"Berarti JPU masih harus mempelajari lebih sungguh sungguh Iagi pledoi saya. karena fakta-fakta yuridis di persidangan telah membuktikan, bahwa JPU lebih memilih untuk menjadikan bukti setoran yang tidak divalidasi oleh Bank sebagai barang bukti di persidangan. Sehingga, akhirnya terungkap, bahwa JPU tidak memahami perbedaan antara bukti setoran yang divalidasi dengan yang tidak divalidasi oleh Bank," ujarnya.
Yang lebih parah lagi, lanjut Manuel, tanpa menjelaskan Dasar Hukumnya, JPU telah menjadikan photo copy Laporan Pemeriksaan Khusus Otoritas Jasa Keuangan Terhadap PT BPR Agra Dhana Tanggal 22 September 2018 yang dibuat oleh Afif Alfarisi dan Radhiyatul Fitriyeni yang bersifat sangat rahasia karena belum dikonfirmasi dan belum dlklarlflkasl kepada terdakwa, dan oleh sebab itu tidak diserahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk dijadikan sebagai barang bukti, karena hanya untuk kepentingan internal dan tidak untuk dipublikasikan, sebagai dasar untuk memenjarakan terdakwa.
Terkait Ketentuan Pasal 40, Pasal 42 dan Pasal 47 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang perbankan, Kami sangat memahami jika JPU berusaha melepaskan diri dari sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dengan menyatakan bahwa terhadap 2 buah buku tabungan diatas nama terdakwa telah dilakukan penyitaan secara sah, serta telah dimintakan persetujuan penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri Batam dan telah dikeluarkan penetapan Persetujuan Penyitaan.
Perlu diketahui oleh JPU, bahwa sebagaimana yang termuat dalam berita acara penyitaan yang dibuat serta ditandatangani oleh penyidik pada Hari Senin Tanggal 19 Maret 2018, pada butir (a) dan (b), terhadap kedua buah buku tabungan atas nama terdakwa, telah disita dari Beny (Direktur Bank BPR Agra Dhana) bukan disita dari terdakwa, sehingga bagaimana mungkin JPU dapat menyatakan penyitaan tersebut sah menurut hukum.
"Fakta-fakta yuridis di persidangan juga telah membuktikan bahwa terhadap kedua buku tabungan, nomor rekening serta transaksi-transaksi keuangan terdakwa telah dibahas secara terbuka dengan suara yang dapat didengar oleh seluruh pengunjung sidang yang hadir. Padahal tidak ada surat izin tertulis sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan," kata Manuel.
Terkait replik JPU yang menyebutkan, bahwa telah diberikan kesempatan kepada terdakwa atau penasehat hukum untuk menghadirkan saksi meringankan dan ahli, akan tetapi terdakwa tidak ada mengajukan saksi. Dalam dupliknya, Manuel menegaskan, sesungguhnya pendapat JPU tersebut adalah keliru, karena dari sejak awal proses penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan terdakwa dipersidangan, sudah pasti kami ingin menghadirkan saksi dan ahli yaitu Afif Alfarisi selaku pemimpin rapat OJK pada Hari Jumat tanggal 26 Januari 2018, ditambah minimal 1 orang peserta rapat dari pihak Otoritas Jasa Keuangan, yaitu Mohammad Rizky yang hadir serta ikut menandatangani risalah rapat OJK NOMOR : RR-25/K0.0502/2018.
Rapat tersebut bertujuan untuk mengklarifikasi serta mengkonfirmasi Hasil Laporan Pemeriksaan Khusus Otoritas Jasa Keuangan terhadap PT BPR Agra Dhana Tanggal 22 September 2018 yang dibuat oleh afif Alfarisi dan Radhiyatul Fitriyeni, yang bersifat sangat rahasia, karena belum dikonfirmasi dan belum diklarifikasi kepada terdakwa, dan hasil pertemuan tersebut telah dituangkan sebagaimana yang tertulis dalam risalah OJK NOMOR : RR-ZS/K0.0502/2018.
"Tanpa kami harus bersusah payah, JPU telah menghadirkan Afif Alfarisi dan Mohammad Rizky di Persidangan.
Bahwa risalah rapat OJK Nomor: RR-25/K0.0502/2018, yang ikut ditandatangani oleh Iwan M (Kepala OJK Provinsi Kepri) tidak besifat rahasia. Sehingga risalah rapat tersebut adalah alat bukti yang sah dan dapat dijadikan barang bukti diperaidangan, serta telah diserahkan di persidangan. Risalah rapat yang diserahkan dan dibacakan itulah telah membuktikan surat tuntutan JPU sesuai surat dakwaan pertama tidak terbukti," terang Manuel.
"Kami sangat menyayangkan pernyataan JPU dalam repliknya, yang menyebutkan bahwa salah satu alasan JPU memenjarakan terdakwa adalah karena adanya itikad baik dari terdakwa untuk menyelesaikan permasalahan. Jika itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan dapat dijadikan dasar untuk memenjarakan seseorang, maka benar-benar sungguh mengerikan prinsip hidup JPU tersebut.
Karena itu, PH terdakwa mantan Direktur Utama BPR Agra Dhana meminta kepada Majelis Hakim yang dipimpin Mangapul Manulu didampingi Hakim anggota Jasael dan Rozza meminta, menolak surat tuntutan JPU untuk seluruhnya, dan mengabulkan surat pledoi terdakwa untuk seluruhnya.
Usai itu pembacaan duplik terdajwa Erlina, Majelis Hakim Mangapul menunda persidangan, dan melanjutkan peraidangan dengan agenda mendengarkan putusan. "Kami Majelis Hakim bermusyawarah dulu. Sidang dilanjutkan pada tanggal 27 November 2018," ujar Hakim Mangapul.
Alfred