Sidang di Mahkamah Konstitusi soal alat berat yang dikategorikan kendaraan bermotor sehingga dikenai denda pajak |
EXPOSSIDIK.com, Jakarta -- Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menunda sidang pengujian Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden dan DPR. "Karena belum adanya tandatangan dan surat kuasa dari pemerintah, dan tidak dihadiri perwakilan DPR, maka sidang ini harus diundur hingga Kamis, 7 Juli 2017," kata Ketua Majelis Hakim MA, Arief Hidayat di ruang sidang Panel Satu, Jakarta, Rabu, 7 Juni 2017.
Walaupun sudah dihadiri perwakilan Pemerintah, sidang tetap ditunda karena adanya permintaan pemohon agar termohon memperlihatkan bukti tandatangan keterangan Presiden. "Kami telah menerima fotokopi keterangan dari Presiden, ternyata belum ditandatangani," kata Ali Nurdin kuasa hukum pemohon di persidangan.
Ali Nurdin adalah kuasa hukum dari tiga perusahaan yaitu, PT. Tunas Jaya Pratama, PT. Mappasindo, dan PT. Gunungbayan Pratama Coal.
Menurut Ali, selaku kuasa hukum pemohon, ia wajib mempertanyakan apakah sudah ada tandatangan dari pemberi kuasa, maupun surat kuasa substitusi bagi yang mewakilinya. "Ini sangat perlu untuk tertibnya administrasi," katanya.
Untuk surat kuasa substitusi, ujar Ali, meliputi kuasa mewakili departemen keuangan, mewakili departemen dalam negeri, serta mewakili Kementerian Hukum dan HAM. "Dari pengalaman yang ada, belum ada tandatangan dan kuasa, tapi sidang sudah berjalan," katanya.
Atas permintaan pemohon tersebut, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat mempersilahkan termohon untuk menjawab. Termohon dari Pemerintah mengatakan memang masih ada satu surat kuasa yang belum ditandatangani.
Karena masih ada satu yang belum ditandatangani, kata Arief, sidang harus diundur hingga 7 Juli 2017. "Sidang kedepan, saya minta kepada Pemerintah untuk perwakilan yang dihadirkan harus eselon satu," kata Arief.
Seusai sidang, Kuasa Hukum pemohon, Ali Nurdin mengatakan, pihaknya mempersoalkan pasal 1 angka 13, pasal 5 ayat 2, pasal 6 ayat 4, dan pasal 12 ayat (2) UU a quo di mana, ketentuan tersebut mengatur mengenai pajak kendaraan bermotor bagi alat berat.
Menurut Ali, alat berat bukanlah moda transportasi, sesuai putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 yang dikabulkan 31 Maret 2016. Namun, berdasarkan pasal 1 angka 13, pasal 5 ayat 2, pasal 6 ayat 4, dan pasal 12 ayat (2) UU A quo,alat berat masih dikenakan pajak dan bea balik kendaraan.
Disinilah masalahnya, ungkap Ali, mengingat hal ini berakibat pada denda pajak kendaraan bermotor, kurungan atau pidana, hingga penagihan pajak dengan paksa kepada pemilik alat berat.
Karena itu, terang Ali, ia bersama tim kuasa hukum kembali menguji pajak dan restribusi daerah ke MK, bahwa alat tersebut tidak termasuk dalam kategori kendaraan bermotor dan tidak bisa dikenakan pajak kendaraan bermitor. "Dasar ini sangat penting karena berlaku untuk semua."
Ali menuturkan, apa yang dikeluarkan MK tertanggal 31 Maret 2016, alat berat bukanlah kendaraan bermotor merupakan norma baru didalam perundang-undangan.
Karena itu, terangnya, peraturan tersebut harus juga berlaku di perundang-undangan lainnya. "Jika UU 28 mengatakan alat berat adalah kendaraan bermotor, maka menimbulkan ketidakpastian hukum."
Karena ada dua norma yang berbeda dan saling bertentangan. Disatu sisi alat berat sebagai kendaraan bermotor, padahal di UU lalu lintas alat berat bukan termasuk kategori kendaraan bermotor, kata Ali.
ALBERT ADIOS GINTINGS